Entah kenapa menulis saat lewat tengah malam itu sesuatu. Semua perasaan terkumpul jadi satu. Intim, romantis, sendu, haru, dan khusyuk. Seharian tadi saya mencoba merajut beanie, tapi kok bingung mau mulai darimana. Tidak terbiasa pakai circular needle tampaknya. Lalu, kelewat sumpek, saya iseng baca jurnal – jurnal tentang post-feminisme. Dari situ, plot twist yang sering ada di kepala saya bahwa perempuan itu sendirilah yang mengendarai stigma perempuan yang beredar di media makin berdentum. Saya terkadang berpikir bahwa sebenarnya, perempuan – perempuan itu justru bukan objek. Mereka sendiri yang memberi penilaian terhadap diri mereka sendiri, berdandan sesuai penilaian mereka sendiri dan menargetkan para penonton (para pria yang banyak mau dan para perempuan insecure) dengan apa yang mereka pakai. Nah, bang! Objeknya adalah para penonton itu. Memang, bahwa media selama ini hanya mengeksploitasi satu sisi perempuan saja, yaitu; fisik, adalah sesuatu yang tidak bisa disangkal. Tapi, makin lama, potret yang dihadirkan tak selalu physically “perfect” dan dumb blonde seperti yang sebelumnya sering ditampilkan. Pernah dengar manic pixie girl bukan? Nah. Dalam pendapat saya, ini sisi eksploitasi yang semakin marak saja ditampilkan. Bukan lagi persoalan fisik tentang badan yang padat gemulai atau langsing nan jenjang. Manic pixie girl belum tentu seperti itu. Mereka biasanya hadir dalam fisik langsing (tapi tidak kurus sekali), tinggi badan standard atau malah mungil, tidak memiliki wajah layaknya model kosmetik, tapi tentunya ada hal lain yang membuat mereka menarik. Entah itu kemampuan berbahasa Perancis mereka, doe-eyed mereka, selera busana mereka yang biasanya cenderung “vintage”, selera musik yang disebut “indie”, terkadang punya bakat seni, seperti menggambar atau membuat lagu di saat senggang dengan ukulele, sarkastik, dan most of all, mereka digambarkan memiliki jiwa yang bebas, mengejar passion mereka dengan moto YOLO, tidak punya pekerjaan tetap dengan gaji yang menunjang, tapi masih bisa pergi ke coffee shop, berpetualang kemana saja, dan belanja vinyl. Jika sebelumnya hanya dimensi fisik saja yang dieksploitasi, sekarang intelektualitas dan spiritualitas juga! Senang mendengarnya? :)) . Bagi saya, apapun scene-nya, pasti suatu saat akan menjadi mangsa bagi industri. Karena setiap scene tentu ada pasarnya bukan? Pasar tidak harus besar pada mulanya, kecil jika memiliki kekuatan yang besar dan mampu mempengaruhi sekitar dengan cepat dan baik tentu akan menjadi besar nantinya. Ini semua tentang perspektif. Jangan buru – buru menilai media yang menciptakan semua ini. Bisa saja kita yang menciptakannya sendiri tanpa sadar dan mengonsumsinya mentah – mentah seolah tak pernah mengenalnya sebelumnya. Lalu, kenapa tidak membangun perpektifmu sendiri? Menjadi cantik karena memang begitulah caramu memandang dirimu sendiri. Menjadi ganteng dan macho karena memang begitulah caramu memandang dirimu sendiri. Menjadi apapun orientasi seksualmu dan berdandan sesukamu, karena memang begitulah caramu memandang dirimu sendiri. Menjadi bebas, mabuk di bar, berdansa - stage diving sesukamu bersama teman – teman bodohmu, dan mengacungkan jari tengah ke semua orang yang menolakmu – seraya persetan semuanya, karena begitulah caramu memandang dirimu sendiri. Dan saya, duduk di pojokan bar saat lewat tengah malam, menyesap sisa bir dan memperhatikan tiap wajah yang tenggelam di balik pendar lampu, sambil mencoret-coret jurnal saya, karena saya tahu, begitulah saya memandang diri saya sendiri, dan begitulah saya ingin kamu memandang saya.
11.21.2014
11.03.2014
Shoyu Tamago
Ever wondering why the egg in ramen could taste so heavenly? I also have been wondering about it since the last ramen I had two weeks ago. I always love hard-boiled eggs, been trying to make them from boiling or even putting them in the oven. But, this morning, I tried this japanese soy sauce egg! This one is not the original shoyu tamago, because I added sake and some ingredients like garlic, scallions, and ginger. This will make for 4 eggs.
What you need:
4 eggs
1 cup of water
1 cup of soy sauce
½ cup of sake
2 cloves of garlic (peeled and crushed)
2 scallions (2 ounces), trimmed and coarsely chopped
1 ounce ginger, skin on, crushed
What you gotta do:
Add all of the ingredients (minus the eggs) into a saucepan and bring to a boil over high heat.
Remove from the heat and let it be in room temperature
Fill a saucepan with water and bring to a boil over high heat, lower the heat a little once it starts to boil
-and nah! here’s the fun trick! Use a pushpin or other stuff pin to gently open a small hole on the bottom of each egg (the rounded side is the bottom, not the pointy side). This helps loosen the egg white from the shell during cooking, making it easier to peel :) -
Gently place the eggs in the water
Set your timer for 6 minutes (this is the most important 6 minutes in the pre-natal life of shoyu tamago)
During the first 2 minutes, you have a critical job. Grab a chopstick or a spoon and spin the eggs around in the saucepan for the entire 2 minutes.
Then, for the rest minutes, you just have to stare lovingly at your cute eggs.
When your timer rings, pour out the boiling water and run cool water to cool the eggs.
Once they’re cool, peel them.
Pour your marinade into a bowl along with your peeled eggs. Marinate them in your fridge for up to 12 hours.
And now, when you wake up and ready, slice your lovely eggs gently.
Happy cooking!
CAPITAL F/W 2014
So, I got a chance to do the lookbook for Capital's F/W 2014 Collection. Such a pleasure to do this! You can check out the full look book on their facebook page here . They will launch the collection on their web on November 10 . Now, here we bring you the romanticizim of 90s skatebording. The sunny days, happy hazy days.
10.28.2014
Gulali
Hai, sudah hampir 2 minggu kita nggak berjumpa. Gimana kuliahmu disana? Kamu sekarang ketiduran mulu ih. Padahal aku kangen dengar suara kamu atau sekedar membaca susunan alfabet tentang cerita-cerita teman kuliahmu disana. Katamu disana mendung ya? Pantas kamu jadi ketiduran terus kalau begitu. Di kamarku selalu mendung, meskipun di luar cerah. Oh iya, tenggorokanku sakit. Kelelahan mungkin, akhir-akhir ini juga jarang minum dan telat makan. Maaf ya, selalu begini. Kapan aku mau gendutan ya kalau pola hidupku begini? Mungkin aku akan mati lebih cepat daripada kamu yang sempat gejala paru-paru basah. Tapi semoga jangan, ah. Kita nggak mati nanti. Kita langsung meleleh, terus berubah bentuk. Kamu mau berubah jadi apa? Aku mau berubah jadi permen gulali rasa stroberi yang kayak jeli itu lho. Lengket - lengket, warnanya merah. Dulu, papaku pernah bikin itu waktu aku masih SD kelas 3 atau 2 (mungkin). Waktu itu seingatku hari Rabu, papa mencoba resep permen jeli gara - gara semalam lihat usaha permen jeli di TVRI. Aku bantu papa ngaduk sepanci adonan yang lumayan besar. Siang itu burung peliharaan papa berkicau diantara kepul adonan permen. Adonannya kental dan berwarna merah. Sambil aku aduk, papa menuangkan gula sedikit demi sedikit. Saat sudah matang, aku dan papa menaruhnya di cetakan. Cetakannya lucu, berbentuk binatang. Ada yang kura - kura, gajah, kupu - kupu, dan entah apa aku lupa. Cara membuatnya sama seperti membuat jeli. Hanya saja ini permen. Sambil menunggu dingin, aku tidur di sofa. Dulu, aku suka sekali pakai baju rumah papa, meskipun jadinya kayak daster. Kainnya dingin dan ukurannya yang besar membuatku seperti di dalam tenda. Papa suka bingung kalau bajunya aku pakai, apalagi papa suka lupa dalam hal menaruh barang. Sehabis tidur, aku makan permen jeli di sore hari. Rasanya manis - manis asam, ada potongan stroberi di dalamnya. Permennya suka lengket di dalam mulut, jadi mengunyahnya lama sekali. Aku makan permen di teras. Waktu itu, sore nggak sepanas sekarang. Di taman, papa membersihkan sangkar burung. Aku nggak suka bau kotoran burung, jadi aku nggak mau membantu papa hihihi. Sambil makan permen, aku nunggu mama pulang. Tapi habis aku tunggu sampai malam, mama nggak pulang-pulang. Jadinya, aku masuk ke dalam rumah dan menonton channel dokumentasi hewan sama papa. Dulu, di TPI setiap jam 6 sampai jam 7 ada dokumentasi hewan. Papa suka sekali lihat hewan saling tangkap, mainan sama temannya, atau melindungi anaknya dari hewan buas. Aku ikut aja sih, lucu juga kan lihat hewan - hewan kayak zebra, gajah Afrika yang abu-abu, dan burung yang sayapnya lebar, di televisi. Habis nonton televisi, aku lupa tuh sisa harinya ngapain. Seingatku, aku masukin permen ke kulkas dan oooh.. aku baca buku cerpen seukuran saku. Yang nulis Enid Blyton. Salah satu ceritanya tentang Peter. Aku baca bukunya di kamar, biar dikira lagi belajar hihihi. Setelah itu, kayaknya aku ketiduran. Aku lupa. Tapi, seingatku, sejak hari itu, papa nggak pernah bikin permen gulali lagi. Oh iya, aku kok malah cerita panjang sih? Yah, lupa kan. Padahal aku yang kangen ceritamu. Kamu sih tidur. Nanti kalau ketemu, gantian kamu yang cerita, tentang apa aja. Tentang rintik hujan disana, dosenmu, atau kota - kota yang dulu kamu tinggali. Sudah ya, aku juga ngantuk. Aku susul tidurmu. Mungkin saja kita bisa ketemu. Kalau kamu mimpi makan gulali, berarti kamu makan aku tuh. Aku masuk ke lambungmu, lalu ditransportasikan melalui darah ke nadi - nadimu. Jadinya, kalau kangen, aku sudah di dalam kamu. Hoaaa serem juga ya tapi. Ya sudah, daah. Selamat tidur. Sampai jumpa secepatnya. Aku kangen sekali :)
10.20.2014
From Me and Canonet
latest photos from last Saturday to this Monday! so happy I have some films and find my animal spirit to take photos and process them again!
10.16.2014
I found you on a Thursday in the kiss between the shower.
I found you on a Sunday in the toilet of a small gig.
You've just come home from your weekend runaway.
I thought you wouldn't come.
But, we met on my way to the toilet.
I found something had lost from me in between the kiss in the toilet
which door could never be locked.
The kind of kiss I wouldn't want to finish.
Like the other one in our first rooftop session.
That night,
the night sky was painted by the bridge's light.
The strait reflected the sleepless city.
I wish you knew that it was the kind of "I finally found myself" kiss.
It was cheesy though, but I mean it.
Unlike the first kiss I had in high school
Or the lustful kisses with random guys I met before in the other cities.
I wish you know that you're not "some kind of lover".
I wish you know that I'll always love every second I spend with you.
I wish you know that I'll always enjoy the night we spend together.
Going to the movies, ranting childhood stories, and worrying our future.
And I wish you know that I'll surely love our nights, someday in the future we're worrying now.
9.21.2014
Perkara Kencan dan Printilan di Baliknya
Setelah dua minggu tidak bertemu, saya dan pacar saya akhirnya kencan lagi. Apa yang spesial dari kencan kali ini? Apa signifikannya kencan ini bagi masyarakat dan negara? Tidak. Tidak ada. Memangnya siapa kami ini? Fashion blogger bukan, punya band juga cuma main di gigs – gigs kecil, punya pekerjaan paruh waktu pun kadang underpaid. Ah, kami adalah pasangan muda biasa, yg kali ini melakukan kencan yang banyak dilakukan oleh remaja lain. Sabtu malam minggu kemarin kami nonton di bioskop. Mall tampak ramai sekali oleh pasangan – pasangan muda dan segerombolan pria sekawanan yang tampak tak punya banyak pilihan untuk malam minggu. Ini bukan kencan yang biasa bagi kami. Tidak biasanya kami nonton film di bioskop. Kencan kami biasanya diwarnai oleh agenda mencari rooftop dan melihat lampu kota dari sana. Ngobrol – ngobrol, cubit – cubit, ketawa – ketawa, oleng sedikit, lalu bisa saja berujung pada impromptu quickie (hehehe).
Tapi, pilihan kencan di mall itu bukan tanpa alasan. Yang mendasari pilihan kami di mall tersebut adalah, pemandangan kota dari mall tersebut (sejauh ini) merupakan yang terbaik di kota kami. Ada gedung – gedung dengan lampu warna – warni, lampu kota yang mengiringi berbagai arah menuju rumah, dan jembatan Suramadu yang berpendar di ujung timur. Oh, lalu ada alasan kedua. Kami memiliki janji dengan teman kami, Muarif, untuk mengambil kaus hasil ilustrasinya disana.
Area kantin mall sangat ramai. Mau berjalan berdua beriringan saja susah. Ah, mau mesra saja kok susah sih, my love? Muarif belum datang, dan kami masih bingung mencari jalan menuju bioskop.
“Gandengan, po’o, rek.”.
Begitulah kalimat yang diucapkan Muarif saat bertemu kami. Melihat Muarif, saya langsung berpikir, mungkin kami bertiga cocok untuk jadi sampul album band indie masa kini. Dua pria muda dengan jaket harrington yang separuh diresletingkan dan perempuan muda negara tropis yang masih nekat memakai windbreaker jacket. (Habis yang paling cocok untuk kaus polo biru indigo saya cuma jaket cropped warna hijau army ini). Susah sih memang hidup ini kalau mau pakai baju saja harus cocok – cocokan. Padahal siapa sih yang mau lihat? (Ya, ada sih, kalau saya Yumna Kemal atau Pupu Paula. Tapi ah, siapalah saya ini). Tapi ada yang kurang rasanya kalo bukan pakai jaket yang ini. Ah, fashion. Salah satu peranakan kapitalisme yang sudah mendarah daging pada diri saya. “Yaopo, Mu’? Dibayar sekarang ta?”, kata pacar saya. “Wah, ntar aja, Dim.”. “Oke, oke, kalau gitu, ikut kita ke rooftop dulu, gimana? Sambil santai – santai?”, ajak pacar saya. “Bisa tuh.”, jawab Mu'arif.
Perjalanan dari lantai 4 ke rooftop sebenarnya gampang, tinggal naik lift sampai lantai 7B, lalu jalan kaki lewat tangga darurat menuju lantai 8. Tapi, sesampainya di lantai 7B, ternyata pintu menuju tangga darurat tidak bisa dibuka. Akhirnya, kami harus turun lagi ke lantai 6B. Saat pintu lift terbuka, terlihat wajah – wajah keheranan, mungkin mereka bertanya – tanya, ngapain ada orang parkir di lantai 7B? . Lift itu diisi dua keluarga. Yg satu memilih diam, yang satu, ada nenek – nenek yang terlalu ingin tahu bertanya kepada cucunya yang tampaknya masih TK, “Masuk sekolah jam berapa?” “Sekolah naik apa?”. Padahal cucunya yang polos hanya menjawab “Nggak tahu..”. Ah, anak kecil yang polos, anak kecil yang tidak tahu jam sekolahnya sendiri (jadi apa kamu nak besarnya kalau tidak diajari manajemen waktu?). 2 menit kemudian, kami sudah ada di lantai 6B dan langsung menaiki anak tangga darurat menuju lantai 8. Sesampainya disana, terbentang luaslah hiburan romantis masyarakat kota. Ah... apalagi yang lebih romantis dari pendar lampu kota di malam hari? Terlebih saat mencopot kacamata minus dan mendapati bentuk segi enam dan bulat – bulat kecil dari pendar tersebut layaknya berjoget manja diantara jalanan kota. Ah... inikah romansa?
Kami bertiga duduk di bangku kecil yang terbuat dari semen. Bukan bangku sih, lebih tepatnya batasan untuk parkir yang kami jadikan tempat duduk. Angin disana berhembus dengan kokohnya, untuk menyalakan korek saja dibutuhkan usaha yang lebih. Langit pukul 8 kurang 5 saat itu biru kemerahan, seperti ada yang membakar ujung langit disebelah utara, seiring dengan memerahnya langit, batang pertama pun sudah mulai terbakar. “Disini bagus juga ya ternyata, sama kayak rooftopnya Husada Utama.”, ujar Muarif. “Iya rooftopnya Husada Utama tinggi juga kan ya.” “Iya, tapi aku pernah diusir satpam cuk, padahal gak ngapa – ngapain, cuma berduaan aja disana.” “Cuk, satpamnya ancen gateli. Aku tadi tanya kamar mandinya dimana, disuruh cari sendiri.”, kata pacar saya yang sebelum kencan memang ke rumah sakit Husada Utama. Kakak iparnya melahirkan. “Daripada kita, diusir cuk pas di Royal, mbak ketangkap kamera lho tadi.”, saya menimpali. “Terus diapain? Dimintain KTP?”, tanya Mu'arif. “Iya, tapi cuma kita kasih lihat aja.”, jawab pacar saya “Aku dulu pas di Husada Utama ditahan KTPku, besoknya diambil.”, kata Mu'arif menimpali.
Dan begitulah percakapan kami, mengarah kemana saja, mulai dari pengalaman di rooftop, saya yang tanpa disadari berlagak puitis, sampai Mu’arif yang mengandai – andai kalau semisal kita tertangkap satpam. Saat itu memang pantas disebut “ajur”, kami yang haus bahkan malas mau turun ke supermarket untuk membeli minuman. Butuh setengah jam hingga kami mau berjalan dan naik lift menuju lantai dasar.
Di supermarket, saya dan pacar saya membeli air mineral, teh buah, es krim, dan sandwich selai kacang. Mu’arif, entah bagaimana membeli keju tanpa alasan yang signifikan, dan baru menyadarinya saat berada di kasir. Akhirnya, ia mengembalikan keju itu. Kami bertiga yang masih santai, duduk di bangku dekat atm. Sedikit es krim dan teh lumayan untuk menyibakkan jiwa kami kembali. “Gak feeling makan ta? Aku belum makan seharian.”, sebuah ajakan implisit dari pacar saya untuk menuju area kantin. “Nontonnya masih lama kan?”, giliran saya yang bertanya. “Iya lah, masih jam 9.40 nanti, sekarang masih jam 9 kurang.”, jawabnya. Sembari mencari lift menuju area kantin, Mu’arif memutuskan untuk kembali ke rumah. Lalu, kami yang masih santai ini mencari makan yang pas di kantong. Kencan memilih di mall, tapi tetap saja makannya cari yang paling murah. Saya, yang vegetarian, sudah pasti yang paling hemat. Kebab vegetarian ukuran large seharga 16ribu sudah sangat menyenangkan. Isinya selada, kacang merah, jamur, dan wortel, dibalut asamnya mayones yang sayangnya, hanya terasa sedikit. Pelit sekali kapitalisme ini. Pacar saya, yang memuja daging membeli steak ekonomis yang saus barbequenya tampak nikmat sekali. Saus coklat gelap dengan biji wijen yang sangat menggoda. Uuuh, dituangkan diatas daging yang masih panas dan empuk setelah dipanggang. Bayangkan sensasinya, pasti seperti saat perutmu dituang krim vanilla. Sayang, saya tidak bisa makan daging (tetapi saya masih sangat bertoleransi pada daging yang lain kikikikikik).
Karena kami masih dalam keadaan santai, kami hanya fokus pada makanan. Bingung mau berbicara apa. Lapar iya, santai iya. Dalam hening dan berputarnya jamur, selada, kacang merah, dan wortel dalam mulut saya, saya ingin sekali kami terlibat dalam percakapan. Dua minggu ini, kami tidak bertemu. Ia kuliah di luar kota, sementara saya, terjebak dalam kegiatan yang itu – itu saja di kota kelahiran saya sendiri. Ada suara percakapan telefon, percakapan di motor, dan nada hening diantara kedua percakapan tersebut, yang terus menerus berputar di balik rasa jamur dan kacang merah yang aneh. Pacar saya sedikit kesulitan memotong daging steaknya. Iyalah, orang pakai pisau plastik. Kapitalisme ini memang suatu hal yang mahal bagi kami. Tetapi, motor yang ia pakai untuk pergi bersama saya, jaket bekas import yang saya pakai, pulsa telefon untuk kami melepas rindu saat malam, dan bahkan pemandangan lampu kota yang biasa kami nikmati, semuanya adalah produk kapitalisme. Apa signifikannya kencan kami bagi masyarakat dan negara ini? Ada. Signifikannya ada. Signifikannya adalah setiap hal kecil yang kami lakukan dalam kencan kami, memilih baju untuk kencan, lipstik yang saya pakai, motor yang ia pakai untuk pergi bersama saya, nonton bioskop, pulsa telefon, semuanya adalah peranakan kapitalisme yang membantu negara ini membayar hutangnya. Kami adalah bagian kecil dari masyarakat yang tidak bisa lepas dari rantai kapitalisme, termasuk kegiatan kencan di rooftop yang cuma duduk – duduk dan berbagi cerita. Dan dalam riuhnya kantin mall, decit pisau plastik untuk memotong daging, dan kunyahan kebab vegetarian, saya hening dalam pikiran tentang kapitalisme dan asmara.
9.15.2014
Baby Pop!
Chante, danse, Baby Pop!
I've shot this set a while ago, but just decided to post it now. At first, I fell in love with the candy patterned top I bought and I thought maybe I could make a photo set with pinkish tone that smells like strawberry candies. I also made a mixtape of this "oh oh cheri" feeling! Click to listen and dance like it's always sunny afternoon!
9.05.2014
An Excuse
Sorry for not being on blog for the past weeks. Tomorrow, I'm going to post stories from my last journey to Singapore, recent beach escape, new regular gigs that my friends held, the new project I've been doing all this time, and also, the recent exhibitions I did! Salute!
7.29.2014
Chasing Lights
If there is a time where I want to put on my favorite shelf, I'll pick one where we go adventuring through the city buildings, running on their stairs up to the highest storey. Doing hide and seek with the security and even caught by them are the obstacles we see as adrenaline booster. But, those city lights pouring on the streets are the entertainment we look for and the twinkling silver stars upon the dark night sky are the treasure we found last night. They're such jewels among the artificial lights that human made. Did you realize the red fireworks that burst into the sky as we touched each other's lips with poetry written by our tounges? I remember the sound they made when I closed my eyes. It wasn't loud, but its echoes pounded my heart. If it was the moment I could keep in my film roll, then let it be. Let it be. Then, when we're done with the silent poetry on our lips, I saw that light, that calm flickering light, resting in your dilated pupils. Was that the light I've been looking for? Was that the light I finally chase?
Under the meteor rain of Aquarids on the last day of its periode, I was questioning the warm feeling that flickered into my soul.
7.09.2014
4 juli
Sayang, kita bukan warga Amerika.
Persetan dengan tanggal 4 Juli milik mereka.
Kita punya versi kita sendiri.
Kita ciptakan versi kita sendiri.
Versi mereka di dekorasi oleh warna biru, putih, dan merah.
Oleh kembang api yang melesat di langit malam
dan konfetti yang berhamburan di jalanan.
Versi kita lebih dari cukup.
Kita punya kamar kecil untuk kita berdua.
Ada tv kabel yang memutar lagu kesukaan kita, lagu korea, dan lagu top 40 Amerika sendiri.
Ada sabun vanilla di kamar mandi.
Ada air pancuran yang hangatnya bisa diatur dengan baik.
Lalu, yang paling aku suka, dan semoga kamu juga suka,
adalah percakapan panjang yang tak ada hentinya,
tentang mamamu, adikmu, papaku, teman-teman kita yang tak kunjung usai kuliah, dan kisah - kisah lain yang
terlalu jamak untuk aku jabarkan disini.
kecupan bersuara yang berdurasi sepuluh detik (kurang lebih sih),
binar matamu yang melepaskan ratusan serpihan kata tanpa perlu kamu katakan,
rambu lalu lintas di jalanan tubuhmu yang menyalakan cahaya, memohon untuk disusuri oleh segenap jemariku,
lidahku yang menuliskan puisi di mulutmu,
remang lampu yang membuat garis cahaya di ujung rambutmu,
berisiknya gema hasrat yang buat gaduh,
berisiknya pikiranku yang terkadang masih sulit untuk ditata menjadi paragraf yang bisa aku ungkapkan,
hujan di luar yang membuat tetes - tetes embun di jendela,
dan kita punya disko, sayang!
disko kamar mandi yang ditemani asap rokok dan embun air hangat dari pancuran.
tapi belum, itu belum puncaknya.
karena puncaknya, ujung dari segala ujung awal ataupun akhir, adalah,
kita
punya
satu
sama
lain.
Persetan dengan tanggal 4 Juli milik mereka.
Kita punya versi kita sendiri.
Kita ciptakan versi kita sendiri.
Versi mereka di dekorasi oleh warna biru, putih, dan merah.
Oleh kembang api yang melesat di langit malam
dan konfetti yang berhamburan di jalanan.
Versi kita lebih dari cukup.
Kita punya kamar kecil untuk kita berdua.
Ada tv kabel yang memutar lagu kesukaan kita, lagu korea, dan lagu top 40 Amerika sendiri.
Ada sabun vanilla di kamar mandi.
Ada air pancuran yang hangatnya bisa diatur dengan baik.
Lalu, yang paling aku suka, dan semoga kamu juga suka,
adalah percakapan panjang yang tak ada hentinya,
tentang mamamu, adikmu, papaku, teman-teman kita yang tak kunjung usai kuliah, dan kisah - kisah lain yang
terlalu jamak untuk aku jabarkan disini.
kecupan bersuara yang berdurasi sepuluh detik (kurang lebih sih),
binar matamu yang melepaskan ratusan serpihan kata tanpa perlu kamu katakan,
rambu lalu lintas di jalanan tubuhmu yang menyalakan cahaya, memohon untuk disusuri oleh segenap jemariku,
lidahku yang menuliskan puisi di mulutmu,
remang lampu yang membuat garis cahaya di ujung rambutmu,
berisiknya gema hasrat yang buat gaduh,
berisiknya pikiranku yang terkadang masih sulit untuk ditata menjadi paragraf yang bisa aku ungkapkan,
hujan di luar yang membuat tetes - tetes embun di jendela,
dan kita punya disko, sayang!
disko kamar mandi yang ditemani asap rokok dan embun air hangat dari pancuran.
tapi belum, itu belum puncaknya.
karena puncaknya, ujung dari segala ujung awal ataupun akhir, adalah,
kita
punya
satu
sama
lain.
6.29.2014
Tentang gadis - gadis dan pesta yang tak kunjung usai
Rasanya sudah cukup lama sejak terakhir kali mengisi blog ini. Sebenarnya saya mau nulis tentang beberapa bulan yang lalu dimana saya sempat rehat sejenak untuk menulis atau pun mengambil foto. Bahkan sudah bulan agustus lalu mungkin saat saya terakhir kali membuat photo story yang tematik. I had not been in the mood. Sekarang, saya juga lebih suka mengambil foto apa yang ada di sekitar saya dan orang – orang di sekeliling saya. Urusan foto tematik saya tinggalkan lebih dahulu di ujung kepala baiknya. Gadis – gadis yang ada di kepala saya sedang tertidur lelap. Mereka butuh tidur yang panjang tampaknya. Dan saya butuh pergi keluar dari dunia saya. Memang, sudah cukup lama saya mendekam bersama gadis – gadis di dalam pikiran saya. Sudah cukup lama saya mengikuti kemana alur pikiran dan perasaan mereka pergi dan hilang dan kembali datang lagi, melihat mereka mencoret – coret dinding otak saya dan sesenggukan di pojok yang gelap. Ada juga saat dimana mereka bahagia, dimana ada kabut berwarna merah jambu mendekorasi langit pikiran saya, dan mereka dengan senang hati bermain – main di ladang bunga sambil menggigiti sandwhich raspberry yang mereka bawa untuk piknik. Ini saatnya mencoba dunia yang lain mungkin, yang nyata? Hmm.. nggak juga. Gadis – gadis itu juga nyata. Mereka kadang masih suka berkelebatan di mata saya. Oke, saya harus melihat lebih jauh ke dunia yang ada di luar pikiran saya. Yang juga nyata. Yang teman – teman saya benar – benar hidup dan berpesta disana. Karena hidup ini adalah sebuah pesta dan semua orang diundang, semua orang boleh datang!
5.09.2014
Langganan:
Postingan (Atom)