Halaman

5.13.2017

What I Thought I Had Thought After I've Been Thinking About Running and Actually Ran

Today I ran.
Well, you know me.
I never like running or any other sport.
I just like the sweat running through my baby hair down to the gentle jaw line I barely have.
I supposed to be running at this court where most people in town run their soul away there.
But it was closed.
Who the fuck closed a public running court?
Bitch.
It should not have closed.
I should have expected less.
So I traced back my way back and
I found a football yard, not so far from my house.
There were rented cars parked there
But it was surrounded with quiet streets and a few houses.
If you walk ahead to the South, you can find a cul-de-sac with bushes decorating a grey wall.
I always love cul-de-sac
Just like how I love aisles of supermarket where I can play hide and seek with whomever concerning my game.
I ran from 4.16 to 5.18 p.m
I didn’t go all the way through every aisle and street, I just ran back and forth from the cul-de-sac to the football yard and vice versa.
There was no one around
Well, except a grandpa with his two grandson playing kites together.
That was so cute.
I said “hi” to them.
Thank goodness it wasn’t awkward.
I wasn’t awkward.
After running,
I took a rest and laid my feet on a corner of the football yard.
I played a song by The Clientele through the headset connected to my phone.
The sun was setting
The sky was poured in powder pink with a gradient of violet
I saw birds fleeting to the West
But then they stopped for awhile up there
It seemed like a kite was blocking their way
It was the grandpa’s kite
Did he intentionally leave it floating up there?
Did his grandsons do not want to bring it home?
Are kites always ended up floating in the sky?
To hell with it, I do not find the answer.
Then I went back home, took a bath, made a cup of green tea, and took a short walk from kitchen to my room.
Then I write
It’s been awhile since I write here
I’ve been keeping my daily life in my own journal for the past one year or so or less or more
I wish I could get a fuck tonight
That’s a random thought, though
A random thought that keeps popping in my filthy mind
But nah, not tonight
I dedicated tonight for myself; for the movies I haven’t watched yet been kept for so long in the hard disk, for the books I’ve abandoned because I choose to read the others when the character’s dying; for the tea bag I want to brew yet I forgot I bought it a while ago; for the coffee cup I left under my bed as I have so many excuses to put it in the dishwasher; for the mess I make in my room as I always think I do not have time to put my shit together.

Tonight I don’t get a fuck
and I don’t give a fuck either.


4.12.2017

Setoples Kopi Pemberianmu




Kamu tau?
Barusan aku bikin kopi dari bubuk kopi Sumatra pemberianmu. Padahal aku nggak pengen melek juga. Di luar hujan deras, aku barusan kirim revisian ke dosen. Eh, sebentar, aku mau ke kamar mandi.


Oke, Aku sudah kembali. Aku baru saja mengecap kopimu. Dari tadi belum aku minum. Masih panas. Benar katamu, kopi ini enak sekali. Pahitnya pas. Tidak masam seperti kobi robusta. Kopi di Jawa memang cenderung masam. Pahit, tapi tak sepenuhnya pahit.

Kamu tau?
Aku percaya bahwa semua itu nggak ada yang kebetulan. Mungkin ini rasanya gila, kalau aku, yang nggak relijius, bilang hal seperti ini. Baru saja balik dari kamar mandi dan kembali pasang headset, lagu yang terputar bukan lagu yang pernah aku dengar. Tapi rasanya pas sekali. Lagu ini adalah lagu dari The Clientele yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Nggak kebetulan kalau lagu ini ter-shuffle waktu hujan lebat begini.

Aku percaya bahwa semua itu nggak ada yang kebetulan dan semuanya itu saling terhubung satu sama lain dalam lingkaran. Kenapa? Karena aku percaya, semesta itu bulat. Begitu pula hal-hal yang ada di dalamnya. Aku percaya kalau matahari yang terbit di timur, akan tenggelam di barat, dan akan terbit lagi dari sisi timur. Papaku yang bahagia kemarin malam, hari ini bisa jadi sedih, lalu besok jadi bahagia lagi. Yang kaya akan jatuh miskin, lalu bangkit kaya lagi. Entah kaya dalam hal apa, miskin dalam hal apa.

Aku percaya mungkin kita pernah bertemu sebelumnya. Nggak heran rasanya kamu bukan orang yang asing. Nggak heran rasanya kamu nggak pernah sejauh itu, sejauh jarak tempuh pesawat yang membawa kamu magang sampai ke pelosok Padang. Aku percaya mungkin kita pernah kenal sebelumnya. Kata ibu-ibu yang meditasi di tempat yoga itu, kamu akan menjalani berbagai macam kehidupan, kamu akan hidup dalam beragam bentuk, tapi kamu akan selalu bertemu dengan satu orang yang sama. Rasanya naïf kalau mempercayai itu. Tapi, aku percaya nggak ada yang namanya kebetulan.

Seingatku, waktu itu tanggal 8 Februari. Hari Sabtu. Harusnya 6 hari setelah itu, si seniman yang mengucapkan Selamat Hari Valentine kepadaku. Tapi, 6 hari sebelumnya, entah apa yang membawaku ke Aiola. Aku pesan 2 botol air putih, sambil menunggu kamu. Hari itu aku haus. Haus sekali. Sampai satu botol habis, kamu belum datang. Kata anak-anak,  motormu sudah butut. Taunya, nggak cuma itu, tapi kamunya memang yang lambat kalau menyetir. Ternyata juga, rumahmu jauh. Botol kedua sudah habis separuh dan kamu baru muncul. Tak lama, kita memutuskan pergi saja ke tempat itu. Kita belum pesan tempat, hanya berharap kalau-kalau setan lagi sepi kerjaan menggoda muda-mudi.

Aku menyetir di depanmu. Katamu kamu nggak hafal jalannya. Batinku, sialan, anak ini benar-benar sudah lambat, nggak hafal jalan lagi. Sesampai sana, kita pesan kamar dan menaiki lift yang sudah remang-remang.

Di kamar hotel itu, lampunya ada empat, atau enam. Tapi, yang menyala, cuma dua. Benar-benar love hotel memang. Aku sudah pernah melakukan hal seperti ini. Aku benci sebenarnya melakukan hal begini lagi. Tapi, aku ini cuma lubang hitam di semesta yang bulat ini. Ada lubang-lubang di tubuhku yang perlu diisi. Kupikir begitu. Lalu, kamu berkata, “Ini gimana enaknya?”. Aku pun tertawa. Tertawa gugup. Aku menutupi gugupku dengan membenarkan stockingku di kamar mandi. Aku selalu suka hal-hal indah, stocking dan renda. Dan, untuk hal-hal yang indah, aku belum pernah memakainya di hadapan orang lain. Aku tidak berpikir kamu beruntung, waktu itu. Aku hanya berpikir, mungkin kamu cocok diperlihatkan koleksi stockingku. Tapi, aku percaya, kalau nggak ada yang namanya kebetulan. Lalu, aku keluar dari kamar mandi dan duduk di ujung kasur, di sebelahmu. Aku tertawa. Lagi. Sial. Tiba-tiba, sebelum aku memberi tanda, kamu sambar bibirku. Ciuman yang pertama kali bikin aku gugup dengan rasa yang asing. Sejak saat itu, aku mencari-cari rasa apa yang kamu beri.

Aku pikir lubangku selalu kosong. Aku pikir lubangku hanya satu yang kosong; hanya satu yang perlu diisi. Ternyata benar, aku adalah lubang hitam di semesta yang bulat ini. Tapi, seperti halnya lubang di gigi. Ada yang kasat mata, ada yang tidak kasat mata. Yang tidak kasat mata, tidak terlihat, itu lah, yang tidak pernah aku tau kalau aku punya.

Kamu tau kan kalau aku percaya nggak ada yang kebetulan?
Aku masih ingat sekali, rambut kita basah, masih berendam di bath tub, dengan sisa cung yang sudah habis kita bakar. Air di bath tub masih hangat. Kamu selesai bercerita tentang perempuan yang kamu sukai. Aku selesai mendengarkan ceritamu. Lalu, kita mendekat ke satu sama lain dan berciuman sambil menutup mata. Itu bukan pertama kali. Tapi, itu pertama kali rasanya aku mulai mengenal kamu. Dari semua lagu dari playlist yang kamu tata, yang terputar di kamar mandi, tiba-tiba ada suara drum menyeruak dengan perlahan - berbarengan dengan cymbal, aku nggak cukup update untuk tau itu lagu siapa. Tapi, itu lagu yang terus berada di kepalaku, bahkan sampai kita berciuman di rooftop. Aku percaya nggak ada yg kebetulan. Aku percaya bahwa ada beberapa hal yang akan terus melekat di kepala dan itu, adalah hal-hal yang memiliki nilai tersendiri.

Aku sempat lupa rasanya ciuman. Bagiku, itu cuma pertukaran air liur yang terjadi dengan liar dan cepat. Setidaknya, itu yang aku ingat sampai kita berada di rooftop. Seingatku, itu Kamis malam dan kita menyelinap melewati parkiran kosong dan tangga-tangga darurat. Kota terasa masih terjaga dengan binar lampu-lampunya. Aku berumur 20 tahun waktu itu, jalan 21 di bulan Novembernya. Saat itu masih bulan Juni. Tapi, sungguh, bulan Juni itu, di rooftop aku berasa 16 tahun.  Aku ingat rasanya ciuman yang sebenarnya. Aku ingat rasanya merinding saat disentuh. Sejak saat itu, aku jadi ingat bahwa, ciuman itu juga pertukaran perasaan. Ada kenangan, perasaan, dan hal-hal di antaranya yang kita barter. Aku percaya nggak ada yg kebetulan. Aku percaya bahwa ada beberapa hal yang akan terus melekat di kepala; mungkin kadang, hanya terlupakan sementara waktu, tapi akan datang lagi di saat yang tepat untuk mengingatkan kita, bahwa ada suatu perkara, yang sebaiknya menjadi kekal. Aku dan kamu, adalah salah satunya.

Blogger templates