Halaman

9.05.2015

Biru, Sauvignon, dan Kemangi

Butuh keberanian dan ketabahan untuk kembali menulis, apalagi sebagai orang yang banyak berwacana. Keberanian menulis kali ini datang dari secangkir teh tawar yang baru saja saya seruput. Tadi saya terjebak dalam pilihan teh tawar atau teh hibiscus. Tetapi, dalam keadaan menstruasi seperti ini, perut saya sedang bersahaja dan lebih memilih teh tawar. Suasana meminum teh kali ini bukan yang mewah di teras rumah sore-sore atau di pinggir segara gunung atau di kedai jajan lucu. Saya minum teh di kamar saya, bercat putih, dengan ¾ isinya adalah baju-baju yang berantakan di kasur dan lantai. Entah itu baju sudah dipakai (dan klemprakan berminggu-minggu) maupun baju yang baru disetrika, tapi malas dimasukkan ke lemari. Lalu, masih ada buku-buku yang sudah saya baca, separo saya baca, sedikit saya baca, dan belum sama sekali saya baca. Itu belum semua, masih ada kamera-kamera dan kertas-kertas coretan yang enggan saya buang. Saya punya masalah dalam mengorganisasi memang, baik mengorganisasi barang, maupun hidup saya sendiri. Contohnya seperti tulisan ini saja, dari awalnya membicarakan keberanian dan ketabahan menulis, tapi sebenarnya bukan itu saja yang ingin saya ceritakan. Itu sih cuma secuwil.

Saya sebenarnya ingin menyeritakan perjalanan saya bersama pacar saya beberapa minggu yang lalu ke Bali dan Lombok. Akhirnya, saya rehat sebentar dari pekerjaan dan perkuliahan. Saya tidak menghabiskan banyak waktu di Bali, disana juga masih sedikit bekerja sih. Tapi saya dan pacar saya (mungkin lebih efisien kalau menggunakan kami) menyempatkan pergi ke Ubud dan bertemu teman saya, Nadine. Di Ubud, kami naik turun perbukitan kecil dan menjelajahi area penginapan yang ditinggalkan pemiliknya. Di sana, kami duduk di gazebo kayu. Saya memperhatikan cicit air dari sungai yang ada di sebelah kami. Airnya dingin, tapi tenang. Ia menyapu batu-batu berlumut dan akar-akar pohon yang bergelantungan. Pacar saya merokok, abunya mengikuti arah air dan angin, menuju dataran yang lebih tinggi di seberang kami. Lalu, saya beranjak menuju pinggir sungai, ada daun-daun berwarna hijau pekat yang terdiam. Di sana agak gelap, tertutup pohon besar dari dataran atasnya. Tetapi, celah-celah rantingnya digunakan oleh sinar matahari untuk menyapa dedaunan itu. Mungkinkah mereka selalu mendapat kesempatan untuk menyapa seperti ini? . Saya suka melihat sinar matahari itu jatuh menuju daun. Ada debu-debu kecil yang berjalan di antara mereka. Debu-debu kecil itu sehidup mahluk-mahluk lain di sekitarnya. Sekitar 2 jam saya memperhatikan mereka, lalu saya kembali ke gazebo, dan pacar saya mengajak saya kembali naik ke atas. Di perjalanan itu, masih ada dua orang lagi, mereka teman saya yang berkuliah di Bali. Bagian terbaik dari perjalanan ke Ubud, selain debu-debu kecil itu, adalah warung yang menyediakan Nasi Campur! Nasi Campurnya berisi segala pilihan yang ada di lemari warung. Seharusnya, kalau mau makan Nasi Campur Bali, semua yang ada di pilihan ya diambil saja. Tetapi, karena saya vegetarian, saya memilih kering tempe, pare, dan daun singkong. Sambalnya enak sekali!!!










Sehabis dari Ubud, saya kembali ke penginapan, dan lanjut bertemu Nadine. Malam itu, kami sedang ingin tipsy, jadi kami melakukan riset tempat minum mana saja yang cocok. Saya mengharapkan suatu tempat yang sendu, remang-remang, dengan musik yang tidak riuh, tetapi pilihan pacar saya justru berbanding jauh. Ya sudah, karena tadi saya sudah memilih Ubud, kali ini saya mengalah. Jam 8.50 malam kami tiba disana. Dari luar saja musiknya sudah menggema. Kami duduk di meja bar, lalu memesan sauvignon (awalnya saya kira chardonnay, tapi entah kenapa tiba-tiba menjadi sauvignon). Bar ini warna-warni, warnanya pun mengingatkan saya dengan pengalaman spiritual saat melihat dengan mata yang dalam-terang dan cair. Lampunya melelehkan tawa dan pembicaraan orang-orang. Saya pun menuang gelas pertama. Kami membicarakan suasana bar dan mengomentari orang – orang di sekitar kami (kegiatan kesukaan kami!) selama 20 menit sambil menunggu Nadine. Jam 9.10 atau 9.12 Nadine tiba. Saya selalu mengingat Nadine dengan senyumnya, karismanya yang selalu membawa ceria, dan pelukannya yang erat. Begitu pula awal malam itu. Nadine bercerita tentang pekerjaan barunya. Ia baru saja lulus dan bekerja sebagai fotografer di sebuah agency (Oh dan saya baru ingat, saya belum lulus saja). Katanya, ia banyak melakukan riset. Bukan seperti yang ia bayangkan – setiap hari pergi menangkap cahaya dan bertemu model-model dengan struktur wajah yang tegas. But, fuck it, I’ve got the money!, begitu kata Nadine. Agar pembicaraan dapat menyambung ke pacar saya, saya tahu hanya ada satu topik: pengalaman linoleum. Entah kalian menyebutnya apa, tapi begitulah saya menyebutnya. Di antara asam sauvignon dan musik yang untungnya makin larut temponya makin tidak riuh, kami bercerita tentang orang – orang yang kami temui dan apa saja yang kami lakukan. Bar itu dipenuhi piring-piring kecil dan keramik yang mengingatkan saya pada sekolah saya dulu, sebuah sekolah katolik yang mengagungkan Santo Vincentius dan Santa Maria. Ada warna biru kerudung Santa Maria di tembok belakang saya dan lampu yang bergoyang ke kanan dan ke kiri, Nadine menengadah sambil meniup asap rokoknya (katanya sebulan sebelum kami bertemu Ia sudah berhenti merokok), pacar saya berbicara tentang perbedaan suatu hal – yang membuka mata dan yang menyulut api di mata. Lalu, ada seseorang berbicara.

***





Esoknya setelah bertemu Nadine, kami langsung pergi ke Lombok. Di sana, teman kami, Ayie, sudah siap mengajak kami berpindah dari satu pantai ke pantai lain. Selama di Lombok, selain di pantai, kami menginap di rumah Ayie. Di sana, ibunya dengan rajin menyiapkan makanan dan saya selalu antusias membantu memasak bahan – bahan yang terkadang belum pernah saya masak sebelumnya. Saya adalah orang yang suka berada di dapur (apalagi kalau memasak), jadi memotong tahu pun saya selalu terkesima sendiri dengan teksturnya. Ibunya Ayie memberi “kuliah” kecil tentang perbedaan kemangi Jawa, kemangi Bima, dan kemangi Lombok, katanya kemangi Jawa cocok untuk lalapan, sementara kemangi Bima cocok untuk membasuh ikan, dan kemangi Lombok cocok untuk sayur bobor atau sayur bening. Tetapi, sebagian besar waktu saya dihabiskan di pantai – pantai, jadi tidak terlalu banyak pengetahuan bumbu yang saya dapatkan. Tapi lumayanlah untuk dibawa pulang dan dicoba resep-resepnya. Selain dapur, saya punya cinta tersendiri kepada laut. Mungkin karena warnanya biru (biru itu warna kesukaan saya), mungkin karena gelombangnya yang bergerak dan bersemi kepada angin, mungkin karena dalamnya yang tidak akan pernah saya ketahui isi di dasarnya, mungkin karena ada suatu hal yang selalu membuat saya ingin kembali kepadanya, mungkin karena dulu saya pernah tinggal sebentar di tepi laut, dan mungkin karena saya tak butuh alasan apa-apa untuk mencintainya. Selama bepergian dari pantai ke pantai, kegiatan kami sejak pagi hingga malam adalah berenang, makan ikan, berjalan keliling, makan ikan, berenang, membaca buku, membicarakan yang ada di sekitar dan juga yang jauh, dan terdiam memperhatikan sekeliling, lalu tertidur. Begitulah selama beberapa hari berikutnya. Saya tidak begitu pandai berenang, tapi berenang di laut selalu membuat saya ingin melakukannya lagi.






















Saya rasa begitu kurang lebih isi perjalanan saya. Saya ingin bercerita tentang obrolan saya dan ibunya Ayie, serta orang – orang yang kami temui selama perjalanan, tetapi ketabahan saya tidak cukup besar. Sakit punggung saya sudah mulai merambat (alasan). Tapi kalau sedang menstruasi, punggung saya suka merasa mudah lelah begini. Sungguh. Menurut penghitung di aplikasi penulisan ini, saya sudah menulis lebih dari 1000 kata. Harusnya, saya juga memiliki keberanian dan ketabahan yang sama dalam memperjuangkan skripsi saya.

Blogger templates