Halaman

9.25.2012

More Stars Than There Are in Heaven



*spoiler alert!!!


Tadi siang, sebelum pergi ke kampus teman saya, saya menyelesaikan The Fault in Our Stars untuk kali ke sekian. Penulisnya adalah John Green, yang juga menulis novel apik berjudul Looking for Alaska. The Fault in Our Stars bertutur tentang Hazel Grace dan Augustus Waters, dua remaja mid-teenhood yang bertahan dari kanker dan sedang mencari esensi kehidupan, serta berusaha memahami dunia ini. Tema kisahnya memang klise. Sangat klise. Tapi yang menarik dari  novel ini, bukan tentang temanya. Melainkan cara pandang Hazel Grace dan Augustus Waters pada sekeliling mereka. Hazel Grace dituturkan sebagai seorang remaja sarkastik dengan kemampuan mengolah kejadian standard menjadi humor gelap dengan bumbu tambahan ke-lebay-an yang di taburi topping istilah baru atau kata sifat baru yang ia ciptakan sendiri. Sementara Augustus Waters adalah remaja pria yang terkesan cool and calm, agak meninggi dalam percakapan, meskipun sebenarnya itu adalah hasil dari kemampuannya membolak - balikkan kata dan mendeskripsikan simbol (fyi: Augustus Waters adalah symbols freak.). 


Pendek cerita, keduanya cocok dan saling suka. Keduanya punya misi dalam mengungkap akhir cerita novel favorit mereka. Petualangan mereka dan bagaimana mereka menghadapi hari - hari layaknya remaja biasa dengan berbagai kata - kata satir, seperti, "Congratulation! Now you're a woman, NOW DIE!". (oke, novel ini nggak menunjukkan kegelisahan biru pengidap kanker. maaf. baca my sister's keeper aja kalau suka yang begitu). Hubungan mereka blak-blakan dan saling kritik itu wajar. Lucuk aja bacanya :$ (hehe..). Apalagi ditambah teman baik mereka, Isaac, yang patah hati karena dikandaskan pacarnya. Ya, kurang lebih seperti itu. Novel ini membuat saya tersenyum, tertawa, nangis, lalu mencoba tersenyum, lalu tersenyum lebih lebar lagi karena Hazel Grace ini sangat satir, lalu nahan tertawa ngakak, lalu nangis lagi yang lebih parah timbang sebelumnya, dan ........ (ah sisanya kalian sendiri yang cari tau). 

Beberapa kalimat - kalimat kesukaan saya dari novel ini.......

I decided to text him. I wanted to avoid a whole conversation about it.
Hi, so okay, I don't know if you'll understand this, but I can't kiss you or anything,. Not that you'd necessarily want it, but I can't. When I try to look at you, all I see is what I'm going to put you through. Maybe that doesn't make sense to you. Anyway, sorry.

He responded a few minutes later:
Okay.

I wrote back:
Okay.

He responded:
Oh, my God, stop flirting with me!

I just said:
Okay.

My phone buzzed a minute later:
I was kidding, Hazel Grace. I understand. (But we both know that okay is a very flirty word. Okay is BURSTING with sensuality.)

I was very tempted to respond Okay again, but I pictured him at my funeral, and that helped me text properly:
Sorry.

Saya nggak akan nulis quote yang bijak atau gimana memang. Tapi bagi saya ini sangat memorable dan lagipula, sangat prinka saraswati. Okay. 

Ah, satu lagi. Selama membaca Fault in Our Stars ini, ada dua lagu yang terus ada di pikiran saya. Yang pertama My Little Corner of The World dari Yo La Tengo. Ini ada dua adegan yang cocok, saat si Hazel dan Gus lagi piknik atau saat dalam misi mereka itu!

"and if you care to stay in my little corner of the world, we could hide away in my little corner of the world. I always knew that I'd find someone like you, so welcome to my little corner of the world."

Satunya lagi, dan lagi lagi dari Yo La Tengo. Kali ini, More Stars Than There are In Heaven. Ini pas sekali untuk jadi lagu penutup. Semua kesimpulan cerita ada disini. Semua tentang Hazel dan Gus ya, disini. 
"We'll walk hand in hand 'till we understand and everything to be despised, right before our very eyes, forced before our very eyes, dies before our very eyes."
Hampir mirip memang, sama - sama punya kata eyes dan stars.  Tapi BUKAN itu yang membuat lagu ni terasa sangat cocok. Semuanya tentang mood yang sama. John Green and THE MUSIC DIRECTOR OF THIS FILM SHOULD BE AWARE ABOUT THIS!. Okay.

9.21.2012

Aktual (tanpa tajam dan terpercaya)

Seminggu kemarin saya iseng ke salah satu taman kota dekat rumah. Sekitar jam setengah empat saya sudah nyanggong disana sama si Vina. Sebetulnya alasan mengaktualisasi diri lebih tepat saya ungkapkan, ketimbang iseng. 



Hari itu dia menunjukkann gadget barunya. Biasa, punya si Apel Growak, gadget anak muda masa kini. Kalo sama si Vina, pembicaraan berlangsung seputar kerisauannya akan statusnya yang GAGAL LAKU (yang diakibatkan GAGAL MOVE ON). Dari bulan ke bulan, keluhannya itu - itu aja, subjeknya juga ya sudah pasti itu - itu aja. Di tengah - tengah pembicaraan, si Vina agak sebel sama saya (biasa, tapi 3 menit kemudian kalo ditinggal, juga ga bakal ngebolehin), yang selama berbulan - bulan ini pun nggak pernah memberi solusi yang tepat. Katanya teori - teori saya nggak bisa dipraktekkan dalam kelut permasalahannya (ya siapa suruh minta tips - tips dari orang yang seumur - umur pacaran selalu diputusin). Akhirnya, ketimbang sumpekgh sama saya, si Vina memilih untuk foto - foto (maaf ya, gadget baru) dan mengunggahnya ke instagram. Sementara saya, ketimbang di cuekin, akhirnya mengaktualisasi diri dengan mengambil foto lagi.


Setiap sore, taman kota ini selalu ramai dengan anak - anak bawah satu meter. Mereka sibuk berlarian, menghindari ibu atau pengasuh mereka (yang bisa jadi adalah kakek atau nenek mereka) yang berusaha menjejalkan makanan yang harusnya sudah jadi makan siang mereka. Tapi ada juga anak - anak bawah satu meter yang cuma berlari mengelilingi taman, lalu berhenti di satu titik, karena melihat gelembung sabun melayang - layang di atas kepala mereka, lalu berusaha menangkapnya (jelas nggak mungkin banget nangkepnya, orang gelembungnya melayang pada ketinggian dua meter di atas kepala mereka). Tapi, anak kecil yang satu ini dan orang tuanya menarik perhatian saya.



Bukan kenapa - kenapa juga sih, tapi romantis memang melihat sebuah keluarga kecil di suatu sore di hari Kamis (yang notabene hari kerja), masih menyempatkan waktu buat jalan - jalan manja bersahaja bersama. Biasanya kan di akhir pekan. Pasangan muda ini tampak menyimpan harapan besar pada putri mereka. Saat putrinya berlari kecil, mereka mungkin berharap supaya putrinya bisa berlari melebihi garis batas dunia (apaan sih, lebay.). Manis ya. 10 tahun ke depan semoga giliran saya (ga tau lagi kalo ada yang sukarela ngelamar sebelum umur segitu, atau malah ga ada yang rela, atau jangan - jangan, malah saya yang asik dengan diri sendiri, hehe.). Saya meminta ijin untuk mengambil foto putri mereka dan juga potret keluarga mereka. "Ayo, dek, liat kamera dek.", kata si ibu muda. Tapi putri mereka tetap ribet gleyotan sendiri, saya sih cuek, saya foto aja apapun keadannya.


Semoga langgeng dan si adek tumbuh jadi anak yang gak gleyotan lagi ya! (nb: jangan kayak kakaknya yang moto, susah ditaksir orang, gara - gara suka gleyotan. mungkin karena gleyotannya gak di kasur kali yah, hehe.)








9.15.2012

Anak - anak Kemarin Sore

Saya dan teman - teman lagi sibuk membenahi sebuah ruko buat kantoran radio Kemarin Sore. Karena udah lama nggak dipakai, dan udah berdebu sejak jaman baheula, bersih - bersihnya harus penuh tenaga. Mulai dari ngeguyang lantai (bukan ngepel lagi), sampai ngeberesin sisa - sisa lantai keramik. Tapi ya bersih - bersihnya cuma satu jam-an lebih, empat jam berikutnya ya ...















9.09.2012

Malang 24 Agustus 2012 ; Sebuah petualangan mini bersama Diedra Cavina.

Oke, mari kita mulai sejak tanggal 23 Agustus saja. Waktu itu hari Kamis, pukul setengah 8 pagi, matahari menggigit dalam taraf manja di Surabaya. Saya berangkat ke Stasiun Gubeng untuk mendapatkan tiket kereta api Penataran jurusan Surabaya - Malang. Stasiun tampak sepi dari luar, tak nampak lalu lalang orang - orang pada hari ke 5 setelah lebaran. Dengan gaya sok cool, saya menyapa mbak - mbak penjual tiket di loket, "Penataran, satu. Jam 10.30?" . "Habis mbak. Adanya yang jam 15.10.", jawab mbaknya dengan muka menghadap lembaran tiket kereta. "Yo wes, itu aja. Satu.". Sebel juga sebenernya. Stasiun keliatannya aja sepi, tapi ternyata tiketnya udah dibabat habis. Kayak ada siluman invisible yang kerjaannya makanin tiket kereta dari bawah meja loket.

Akhirnya pukul setengah tiga lebih 20, saya sampai di Stasiun Gubeng lagi dan kereta api Penataran menyapa dengan asapnya dari kejauhan.
.


Sesampainya di Malang, pada pukul 6 sore, teman sekaligus sopir occasionally saya, Alfan, sudah siap menjemput dan mengantarkan ke Houtenhand, dimana tujuan utama saya adalah bertemu Diedra Cavina, atau gampangnya Nyon. Houtenhand ramai seperti biasanya, papan dart yang akan dijadikan lomba pada malam itu sudah terpaku di tembok sebelah kanan, dekat daftar menu. Saya memesan bir ke mas waiter berperawakan tinggi  - kurus dan lucu, :3, dan beranjak menaiki tangga kayu menuju roof top, katanya Nyon dan Irtak sudah disana. Di roof top, dua makhluk gembul menggemaskan bernama Nyon dan Irtak sudah menunggu. Di meja tempat mereka duduk, ada asbak yang di penuhi 9 puntung rokok, dua botol bir dan segelas bir (lagi). Kamera baru Nyon juga ikutan nangkring, lensa digitalnya sudah digantikan dengan lensa analog ternyata. Makhluk Gembul 1 (baca: Nyon) menyapa saya dengan gaya sok unyu a la gadis - gadis ol shop, "Heee! Kangen lhoooo". Engh kon, batin saya. "Sorry, gak entuk sing jam setengah 11.", jawab saya. Makhluk gembul 1 mempersilahkan duduk, sementara Makhluk Gembul 2 tersenyum dan menanyakan kabar saya. Sejak saat itu, percakapan berlanjutan. Ada banyak cerita yang sudah saya simpan untuk mereka dan begitu pula mereka. Juga,ada orang - orang lain yang akhirnya ikut bergabung di meja kami, membawa percakapan ke arah lampu kota dan dinginnya udara Malang di malam hari.  

.

Esoknya, tanggal 24 Agustus, Nyon sudah bangun terlebih dahulu, sementara saya, masih sibuk gleyotan bareng guling di kasur. Papinya si Nyon pagi - pagi sudah teriak - teriak, menyuruh Nyon untuk segera pergi ke Indosat terdekat dan mengurus kelanjutan hidup kartu SIM adiknya. Sekitar jam setengah 12 siang, kami akhirnya keluar dari rumah, menuju Hot Cwie Mie dan sarapan disana, lalu mengurus kartu SIM (yang menghasilkan nihilisme, karena Nyon lupa bawa paspor dan tidak memiliki KTP, sementara KTP dan paspor adalah hal krusial untuk mengurus nasib kartu SIM). Berhubung nihilisme sudah terpatri di tangannya, saya mengajak Nyon untuk berpetualang kecil di daerah Kayu Tangan. Kami memutuskan untuk naik becak dan menimbang - nimbang tukang becak macam apa yang kira - kira bisa ditawar sampai kebangetan. Dari sekian tukang becak yang sudah lewat, akhirnya saya melihat secercah harapan pada Bapak Tukang Becak Bermuka Redup dan Biasa Diintimidasi. Saya memanggilnya, memberi tahu tujuan kami dan menawar harga. Sudah saya duga, si Bapak Tukang Becak Bermuka Redup dan Biasa Diintimidasi ini dengan baik hati memberi harga murah pada kami. Saya sudah lama tidak naik becak, jadi saya sempat kesenengan juga merasakan angin yang berhembus diantara jeruji kain penutup, sementara Nyon sibuk merekam aktivitas jalanan kota Malang. 

Sesampai di daerah Kayu Tangan, saya membayar si Bapak Tukang Becak Bermuka Redup dan Biasa Diintimidasi dengan bonus seribu rupiah (lumayan buat beli rokok inter satu batang, masih dapet permen satu atau dua bungkus juga) dan mengajak Nyon ke toko Buddha di seberang jalan. 


Saat kami datang, kami disambut mbak - mbak berkerudung yang tersenyum dengan manis. Saya pikir yang jaga engkoh - engkoh gitu padahal. Toko ini tidak hanya menjual hio, buku doa, lampion, patung atau pun aromaterapi ternyata. Mereka juga menjual liontin - liontin dan gelang berhiaskan foto Avalokitesvara, Buddha, atau pun yin-yang. Nuansa di toko serba berwarna merah, layaknya toko yang kental dengan nuansa China, lantainya tampak jarang disapu dan debu pun menempel di buku - buku doa yang di pajang di rak dekat lampion. Seorang pria pribumi, yang duduk dengan mata terpejam di meja kasir, tiba - tiba terbangun. Mungkin ia mendengar tawa cekikikan kami. Kami sendiri lebih banyak memfoto toko tersebut, timbang memutuskan untuk membeli apa. Pada akhirnya, Nyon membeli amplop merah dan lilin beraroma teh hijau. Sementara saya, membeli buku doa dan kipas cendana dengan lukisan burung walet yang bertengger dengan percikan sinar matahari sebagai backgroundnya. 


Selepas dari toko Buddha, kami lanjut berjalan kaki. Menapaki trotoar sempit dan melewati toko - toko lama yang sudah tutup, yang tak menyisakan harapan bagi manekin di dalamnya. Di tengah bunyi sol sepatu kami, Nyon berkata, "Sek ta lah, kon krungu iku gak seh?". "Hah? Opo?", kata saya. Raut muka Nyon berubah, lalu ia melirik ke arah kiri bawah dan suara cicit kecil pun terdengar. "Cuk.", umpat saya pelan. Seekor bayi kucing dengan mata yang belum mampu terbuka dengan sempurna dan bulu yang kumal, merayap mencari makanan. Kaki - kaki kecilnya yang ringkih berusaha sekuat tenaga meraih mangkok susu cair yang terbuat dari tutup plastik minuman. Tampaknya ia dapat melihat setitik harapan di depan matanya yang belum mampu berbinar penuh. "Cuk.. yaopo iki? Nek digowo mulih yo mati, tapi nek nang kene yo...". Mata Nyon berubah nanar, rona kepanasan di mukanya berubah pucat. Saya pun mendekati kucing tersebut dan menumpahkan susu dari tutup plastik minuman tersebut. Saya tahu dia tak akan pernah mampu mengangkat kaki kecilnya, melongokkan muka ke tutup plastik itu dan menjilati susu yang entah sudah berapa hari disana. Mungkin seorang pejalan kaki yang merasa iba, sengaja menaruhnya. "Ibu e nang ndi iki? Tegone...", ujar Nyon pelan, seakan ingin terisak. Drama pertolongan pertama pada bayi kucing tersebut berakhir dengan kami meninggalkannya dan memastikan dia dapat meminum tumpahan susu tersebut yang saya cecerkan di lantai trotoar.

Kami berjalan lagi, berusaha move on dari kejadian barusan. Tak lama kemudian, kami menemukan pintu besi yang terbuka kecil, disebelah kiri Nyon berdiri di foto ini.



Ada surga mini dengan rerumputan liar dan aroma klorofil yang mengundang kami untuk masuk. "Mlebu a?", tanya Nyon. "Ayo ae, wes.", jawab saya. Kami pun terperangah melihat sekeliling kami. Sulur - sulur, lumut dan pohon - pohon perdu lebat ada di ujung tangga menuju bawah.


"Mbayar piro iki?". Kami dikagetkan dengan suara dari arah belakang, dari arah pintu tersebut terbuka. Nyon berbisik, "Lanjut gak?". "Boleh.". Kami pun menyusuri rerumputan lebat tersebut, lalu berbelok ke kiri dan menemukan tangga menuju lantai atas, yang kami pun tak punya bayangan, hal macam apa yang akan kami temui.


Tangga tersebut terbuat dari semen, dengan rontokan - rontokan kayu, batang kayu yang patah dan dedaunan kering menjadi karpet urban baginya. Di lantai dua, ada tembok bermural dan coretan  - coretan di beberapa bagiannya. Atapnya berlubang di tengah - tengah. Kami menyusuri tiap ruangan, tiap bekas tapak, tiap sisa debu, aroma pesing dari orang - orang yang sembarangan kencing pada retak tembok yang dulunya sempat kokoh.


"Oalah cuk, iki bekas bioskop iku lho. Haha, ono celono i lho nang kono", ujar Nyon merobek pukau. "Oh yoh? Pasti wes digawe nginep sembarang kalir.", sambil melihat celana kumal yang sudah robek dan tas ransel hitam yang tergelatak tanpa nyawa. Mungkin beberapa remaja kekinian datang kemari dan mencoret tembok - tembok tersebut dengan tangan muda mereka, mungkin anak - anak punk jalanan sempat menginap disini, karena lebih nyaman timbang mereka terlelap di depan pertokoan, mungkin beberapa tukang becak pernah kemari dan memperkosa gadis smp yang mereka jemput dari sekolahnya, dan mungkin anak - anak muda lain pernah datang kemari dan memotret tiap sisa simbol budaya remaja pada masanya ini. Seperti kami.



Selepas merasa puas dan sedikit lelah, kami memutuskan untuk meninggalkan sidik jari kami pada tembok - tembok bergambarkan Jenderal Soedirman, yang mungkin 20 tahun lagi akan segera diruntuhkan dan dibangun menjadi pertokoan atau mall baru. Nyon mengajak saya kembali ke Houtenhand. Awalnya kami ingin pergi ke Legipait, tapi letaknya cukup jauh dari Kayutangan. Kami menapaki rute kami tadi, melewati lagi memori yang ditapakkan sol sepatu kami. Kami sempat mengecek kembali keadaan bayi kucing tersebut dan menumpahkan susu lagi ke lantai trotoar, agar jika ia mati, ia bisa mati dengan keadaan kenyang dan berlautkan susu vanilla di antara kekotoran trotoar dan polusi yang dibawanya. Setelah berjalan sekitar satu  atau dua kilometer, senyum puas menghiasi wajah kami dan tak sabar menenggak bir yang menunggu dari balik kulkas di Houtenhand.


Nyon kembali memilih roof top untuk merontokkan lelah. Langit pukul setengah tiga siang saat itu sangat cerah. Hanya ada awan - awan tipis mengarunginya. Kami banyak berbincang mengenai hal - hal sensitif remaja perempuan pada umumnya. Tak perlu di ceritakan secara detail, kalian semua juga pasti bisa menebak. Tak lama kemudian, Nyon dan saya memotret sisi menarik dari tempat ini. Nyon memilih memotret secara interiornya, sementara saya lebih suka memotret orang - orang di dalamnya.



Kembali dari memotret, kami pun kembali meneruskan percakapan. Saya suka mengobrol dengan Nyon. Ada sisi dewasa yang naif dibalik kenakalannya. Ceroboh, spontan, tidak banyak berpikir. Ia menuliskan sesuatu di jurnal saya. Sudah sempat saya buka, tapi tak akan saya ceritakan ke kalian. Sejam setelah itu, saya merasakan kangen pada kasur saya. Saya pun memutuskan kembali ke Surabaya. Kami berdua pergi meninggalkan Houtenhand, kembali ke trotoar dan menuju rumah masing - masing. Nyon menuju rumah Bundanya yang tentunya di Malang, saya menuju rumah saya di Surabaya. Nyon mungkin butuh waktu 30 atau 40 menit tapi bagi saya, masih ada 2, 5 jam untuk sampai di rumah. Kami berpisah di perempatan Kayutangan, ia melambai, mengucapkan hati - hati dan tersenyum dengan senyumnya yang gapleki :p








9.01.2012

Doom Doom Girl

"In another scene, in another bed you're sleeping."
Dum Dum Girls - Bedroom Eyes










Blogger templates