Halaman

9.09.2012

Malang 24 Agustus 2012 ; Sebuah petualangan mini bersama Diedra Cavina.

Oke, mari kita mulai sejak tanggal 23 Agustus saja. Waktu itu hari Kamis, pukul setengah 8 pagi, matahari menggigit dalam taraf manja di Surabaya. Saya berangkat ke Stasiun Gubeng untuk mendapatkan tiket kereta api Penataran jurusan Surabaya - Malang. Stasiun tampak sepi dari luar, tak nampak lalu lalang orang - orang pada hari ke 5 setelah lebaran. Dengan gaya sok cool, saya menyapa mbak - mbak penjual tiket di loket, "Penataran, satu. Jam 10.30?" . "Habis mbak. Adanya yang jam 15.10.", jawab mbaknya dengan muka menghadap lembaran tiket kereta. "Yo wes, itu aja. Satu.". Sebel juga sebenernya. Stasiun keliatannya aja sepi, tapi ternyata tiketnya udah dibabat habis. Kayak ada siluman invisible yang kerjaannya makanin tiket kereta dari bawah meja loket.

Akhirnya pukul setengah tiga lebih 20, saya sampai di Stasiun Gubeng lagi dan kereta api Penataran menyapa dengan asapnya dari kejauhan.
.


Sesampainya di Malang, pada pukul 6 sore, teman sekaligus sopir occasionally saya, Alfan, sudah siap menjemput dan mengantarkan ke Houtenhand, dimana tujuan utama saya adalah bertemu Diedra Cavina, atau gampangnya Nyon. Houtenhand ramai seperti biasanya, papan dart yang akan dijadikan lomba pada malam itu sudah terpaku di tembok sebelah kanan, dekat daftar menu. Saya memesan bir ke mas waiter berperawakan tinggi  - kurus dan lucu, :3, dan beranjak menaiki tangga kayu menuju roof top, katanya Nyon dan Irtak sudah disana. Di roof top, dua makhluk gembul menggemaskan bernama Nyon dan Irtak sudah menunggu. Di meja tempat mereka duduk, ada asbak yang di penuhi 9 puntung rokok, dua botol bir dan segelas bir (lagi). Kamera baru Nyon juga ikutan nangkring, lensa digitalnya sudah digantikan dengan lensa analog ternyata. Makhluk Gembul 1 (baca: Nyon) menyapa saya dengan gaya sok unyu a la gadis - gadis ol shop, "Heee! Kangen lhoooo". Engh kon, batin saya. "Sorry, gak entuk sing jam setengah 11.", jawab saya. Makhluk gembul 1 mempersilahkan duduk, sementara Makhluk Gembul 2 tersenyum dan menanyakan kabar saya. Sejak saat itu, percakapan berlanjutan. Ada banyak cerita yang sudah saya simpan untuk mereka dan begitu pula mereka. Juga,ada orang - orang lain yang akhirnya ikut bergabung di meja kami, membawa percakapan ke arah lampu kota dan dinginnya udara Malang di malam hari.  

.

Esoknya, tanggal 24 Agustus, Nyon sudah bangun terlebih dahulu, sementara saya, masih sibuk gleyotan bareng guling di kasur. Papinya si Nyon pagi - pagi sudah teriak - teriak, menyuruh Nyon untuk segera pergi ke Indosat terdekat dan mengurus kelanjutan hidup kartu SIM adiknya. Sekitar jam setengah 12 siang, kami akhirnya keluar dari rumah, menuju Hot Cwie Mie dan sarapan disana, lalu mengurus kartu SIM (yang menghasilkan nihilisme, karena Nyon lupa bawa paspor dan tidak memiliki KTP, sementara KTP dan paspor adalah hal krusial untuk mengurus nasib kartu SIM). Berhubung nihilisme sudah terpatri di tangannya, saya mengajak Nyon untuk berpetualang kecil di daerah Kayu Tangan. Kami memutuskan untuk naik becak dan menimbang - nimbang tukang becak macam apa yang kira - kira bisa ditawar sampai kebangetan. Dari sekian tukang becak yang sudah lewat, akhirnya saya melihat secercah harapan pada Bapak Tukang Becak Bermuka Redup dan Biasa Diintimidasi. Saya memanggilnya, memberi tahu tujuan kami dan menawar harga. Sudah saya duga, si Bapak Tukang Becak Bermuka Redup dan Biasa Diintimidasi ini dengan baik hati memberi harga murah pada kami. Saya sudah lama tidak naik becak, jadi saya sempat kesenengan juga merasakan angin yang berhembus diantara jeruji kain penutup, sementara Nyon sibuk merekam aktivitas jalanan kota Malang. 

Sesampai di daerah Kayu Tangan, saya membayar si Bapak Tukang Becak Bermuka Redup dan Biasa Diintimidasi dengan bonus seribu rupiah (lumayan buat beli rokok inter satu batang, masih dapet permen satu atau dua bungkus juga) dan mengajak Nyon ke toko Buddha di seberang jalan. 


Saat kami datang, kami disambut mbak - mbak berkerudung yang tersenyum dengan manis. Saya pikir yang jaga engkoh - engkoh gitu padahal. Toko ini tidak hanya menjual hio, buku doa, lampion, patung atau pun aromaterapi ternyata. Mereka juga menjual liontin - liontin dan gelang berhiaskan foto Avalokitesvara, Buddha, atau pun yin-yang. Nuansa di toko serba berwarna merah, layaknya toko yang kental dengan nuansa China, lantainya tampak jarang disapu dan debu pun menempel di buku - buku doa yang di pajang di rak dekat lampion. Seorang pria pribumi, yang duduk dengan mata terpejam di meja kasir, tiba - tiba terbangun. Mungkin ia mendengar tawa cekikikan kami. Kami sendiri lebih banyak memfoto toko tersebut, timbang memutuskan untuk membeli apa. Pada akhirnya, Nyon membeli amplop merah dan lilin beraroma teh hijau. Sementara saya, membeli buku doa dan kipas cendana dengan lukisan burung walet yang bertengger dengan percikan sinar matahari sebagai backgroundnya. 


Selepas dari toko Buddha, kami lanjut berjalan kaki. Menapaki trotoar sempit dan melewati toko - toko lama yang sudah tutup, yang tak menyisakan harapan bagi manekin di dalamnya. Di tengah bunyi sol sepatu kami, Nyon berkata, "Sek ta lah, kon krungu iku gak seh?". "Hah? Opo?", kata saya. Raut muka Nyon berubah, lalu ia melirik ke arah kiri bawah dan suara cicit kecil pun terdengar. "Cuk.", umpat saya pelan. Seekor bayi kucing dengan mata yang belum mampu terbuka dengan sempurna dan bulu yang kumal, merayap mencari makanan. Kaki - kaki kecilnya yang ringkih berusaha sekuat tenaga meraih mangkok susu cair yang terbuat dari tutup plastik minuman. Tampaknya ia dapat melihat setitik harapan di depan matanya yang belum mampu berbinar penuh. "Cuk.. yaopo iki? Nek digowo mulih yo mati, tapi nek nang kene yo...". Mata Nyon berubah nanar, rona kepanasan di mukanya berubah pucat. Saya pun mendekati kucing tersebut dan menumpahkan susu dari tutup plastik minuman tersebut. Saya tahu dia tak akan pernah mampu mengangkat kaki kecilnya, melongokkan muka ke tutup plastik itu dan menjilati susu yang entah sudah berapa hari disana. Mungkin seorang pejalan kaki yang merasa iba, sengaja menaruhnya. "Ibu e nang ndi iki? Tegone...", ujar Nyon pelan, seakan ingin terisak. Drama pertolongan pertama pada bayi kucing tersebut berakhir dengan kami meninggalkannya dan memastikan dia dapat meminum tumpahan susu tersebut yang saya cecerkan di lantai trotoar.

Kami berjalan lagi, berusaha move on dari kejadian barusan. Tak lama kemudian, kami menemukan pintu besi yang terbuka kecil, disebelah kiri Nyon berdiri di foto ini.



Ada surga mini dengan rerumputan liar dan aroma klorofil yang mengundang kami untuk masuk. "Mlebu a?", tanya Nyon. "Ayo ae, wes.", jawab saya. Kami pun terperangah melihat sekeliling kami. Sulur - sulur, lumut dan pohon - pohon perdu lebat ada di ujung tangga menuju bawah.


"Mbayar piro iki?". Kami dikagetkan dengan suara dari arah belakang, dari arah pintu tersebut terbuka. Nyon berbisik, "Lanjut gak?". "Boleh.". Kami pun menyusuri rerumputan lebat tersebut, lalu berbelok ke kiri dan menemukan tangga menuju lantai atas, yang kami pun tak punya bayangan, hal macam apa yang akan kami temui.


Tangga tersebut terbuat dari semen, dengan rontokan - rontokan kayu, batang kayu yang patah dan dedaunan kering menjadi karpet urban baginya. Di lantai dua, ada tembok bermural dan coretan  - coretan di beberapa bagiannya. Atapnya berlubang di tengah - tengah. Kami menyusuri tiap ruangan, tiap bekas tapak, tiap sisa debu, aroma pesing dari orang - orang yang sembarangan kencing pada retak tembok yang dulunya sempat kokoh.


"Oalah cuk, iki bekas bioskop iku lho. Haha, ono celono i lho nang kono", ujar Nyon merobek pukau. "Oh yoh? Pasti wes digawe nginep sembarang kalir.", sambil melihat celana kumal yang sudah robek dan tas ransel hitam yang tergelatak tanpa nyawa. Mungkin beberapa remaja kekinian datang kemari dan mencoret tembok - tembok tersebut dengan tangan muda mereka, mungkin anak - anak punk jalanan sempat menginap disini, karena lebih nyaman timbang mereka terlelap di depan pertokoan, mungkin beberapa tukang becak pernah kemari dan memperkosa gadis smp yang mereka jemput dari sekolahnya, dan mungkin anak - anak muda lain pernah datang kemari dan memotret tiap sisa simbol budaya remaja pada masanya ini. Seperti kami.



Selepas merasa puas dan sedikit lelah, kami memutuskan untuk meninggalkan sidik jari kami pada tembok - tembok bergambarkan Jenderal Soedirman, yang mungkin 20 tahun lagi akan segera diruntuhkan dan dibangun menjadi pertokoan atau mall baru. Nyon mengajak saya kembali ke Houtenhand. Awalnya kami ingin pergi ke Legipait, tapi letaknya cukup jauh dari Kayutangan. Kami menapaki rute kami tadi, melewati lagi memori yang ditapakkan sol sepatu kami. Kami sempat mengecek kembali keadaan bayi kucing tersebut dan menumpahkan susu lagi ke lantai trotoar, agar jika ia mati, ia bisa mati dengan keadaan kenyang dan berlautkan susu vanilla di antara kekotoran trotoar dan polusi yang dibawanya. Setelah berjalan sekitar satu  atau dua kilometer, senyum puas menghiasi wajah kami dan tak sabar menenggak bir yang menunggu dari balik kulkas di Houtenhand.


Nyon kembali memilih roof top untuk merontokkan lelah. Langit pukul setengah tiga siang saat itu sangat cerah. Hanya ada awan - awan tipis mengarunginya. Kami banyak berbincang mengenai hal - hal sensitif remaja perempuan pada umumnya. Tak perlu di ceritakan secara detail, kalian semua juga pasti bisa menebak. Tak lama kemudian, Nyon dan saya memotret sisi menarik dari tempat ini. Nyon memilih memotret secara interiornya, sementara saya lebih suka memotret orang - orang di dalamnya.



Kembali dari memotret, kami pun kembali meneruskan percakapan. Saya suka mengobrol dengan Nyon. Ada sisi dewasa yang naif dibalik kenakalannya. Ceroboh, spontan, tidak banyak berpikir. Ia menuliskan sesuatu di jurnal saya. Sudah sempat saya buka, tapi tak akan saya ceritakan ke kalian. Sejam setelah itu, saya merasakan kangen pada kasur saya. Saya pun memutuskan kembali ke Surabaya. Kami berdua pergi meninggalkan Houtenhand, kembali ke trotoar dan menuju rumah masing - masing. Nyon menuju rumah Bundanya yang tentunya di Malang, saya menuju rumah saya di Surabaya. Nyon mungkin butuh waktu 30 atau 40 menit tapi bagi saya, masih ada 2, 5 jam untuk sampai di rumah. Kami berpisah di perempatan Kayutangan, ia melambai, mengucapkan hati - hati dan tersenyum dengan senyumnya yang gapleki :p








2 komentar:

Blogger templates