1.24.2015
1.07.2015
Diantara Hotel Esek-esek, Pesta, dan Absennya Terang
Desember. Dimana majalah membundling edisinya sebagai Desember/January. Sebuah alfa-omega. Awal dan akhiran. Awal dari segala perkara. Akhir dari segala sebab. Desember. Di dunia saya yang kecil, ada saat dimana perjalanan terurai dari Surabaya, Cepu, Batu, Malang, Sidoarjo, dan kembali lagi ke rumah saya, di Surabaya. Uraian tersebut menitahkan wajah - wajah baru untuk saya temui. Diantara gerimis kecil kota Semarang dan hotel esek-esek di Ungaran. Lalu, pesta yang didatangi secara impromptu di kota Batu. Botol yang berserakan dan kolam renang yang berpeluh tawa. Wajah demi wajah yang berdansa di hadapan saya. Wajah yang tiba - tiba menghampiri dan berkata bahwa malam ini malam ulang tahunnya. Entah siapa. Rambutnya panjang, lengket kena keringat, dan bau arak. Tetapi pesta berlalu dengan cepat. Semua lelah dan saya masih sadar. Esoknya, sudah tiba saja di Malang. (Saya tidak mau lama - lama menulis ini. Ada jadwal mengajar sejam lagi). Di Malang, hujan meniti kisahnya di permukaan jendela. Saya dan pacar saya mendekam di kamar. Kelambunya biru. Langit abu - abu. Kami tak pernah nyalakan terang lampu. Ada binar yang sudah menyala sendiri. Sayang, Malang hanya kami singgahi selama 2 hari. Kelambu biru terpaksa jadi kenangan. Kami harus lanjut ke Sidoarjo. Disana, kamar lain sudah menunggu. Sebelum disambut lampu kelap - kelip di kamar itu, ada wajah yang tak asing namun terasa asing untuk disapa. Wajah yang enggan untuk menyapa dan membuat segan untuk menyapa. Entah kenapa wajah orang ini. Sejauh ini, saya baru sadar, kami selalu mendapati kamar yang gelap atau paling tidak remang. Apakah terang mengasingkan dirinya dari kami? Ah, tak apa lah, yang penting binar hasrat selalu menyala. Beberapa hari kemudian ada pesta lagi. Pesta itu menyambut tahun yang katanya baru. Tahun yang katanya diakhiri dan dilahirkan lagi. Menurut penghitungan, ada 81 orang yang datang malam itu. Ada orang - orang membawa wajah atau sekedar bertopeng wajah. Wajah yang menyisakan kepayang, wajah yang meledakkan minuman, wajah yang dilumat nafsu, wajah yang tertawa membalas lambaian tangan, dan banyak jenis wajah yang lain. Namun, dari semua perjalanan, dan memang selalu begitu, saya sedikit memiliki kesulitan bertemu wajah baru dalam jumlah banyak. Perjalanan ini asing dan sering saya merasa terasing. Itukah perjalanan yg mereka bangga-banggakan? Sebuah keasingan yang diagungkan. Sebuah kemewahan masa sekarang.
Langganan:
Postingan (Atom)