Oke, mari kita mulai sejak tanggal 23 Agustus saja. Waktu itu hari Kamis, pukul setengah 8 pagi, matahari menggigit dalam taraf manja di Surabaya. Saya berangkat ke Stasiun Gubeng untuk mendapatkan tiket kereta api Penataran jurusan Surabaya - Malang. Stasiun tampak sepi dari luar, tak nampak lalu lalang orang - orang pada hari ke 5 setelah lebaran. Dengan gaya sok cool, saya menyapa mbak - mbak penjual tiket di loket, "Penataran, satu. Jam 10.30?" . "Habis mbak. Adanya yang jam 15.10.", jawab mbaknya dengan muka menghadap lembaran tiket kereta. "Yo wes, itu aja. Satu.". Sebel juga sebenernya. Stasiun keliatannya aja sepi, tapi ternyata tiketnya udah dibabat habis. Kayak ada siluman invisible yang kerjaannya makanin tiket kereta dari bawah meja loket.
Akhirnya pukul setengah tiga lebih 20, saya sampai di Stasiun Gubeng lagi dan kereta api Penataran menyapa dengan asapnya dari kejauhan.
.
Sesampainya di Malang, pada pukul 6 sore, teman sekaligus sopir occasionally saya, Alfan, sudah siap menjemput dan mengantarkan ke Houtenhand, dimana tujuan utama saya adalah bertemu Diedra Cavina, atau gampangnya Nyon. Houtenhand ramai seperti biasanya, papan dart yang akan dijadikan lomba pada malam itu sudah terpaku di tembok sebelah kanan, dekat daftar menu. Saya memesan bir ke mas waiter berperawakan tinggi - kurus dan lucu, :3, dan beranjak menaiki tangga kayu menuju roof top, katanya Nyon dan Irtak sudah disana. Di roof top, dua makhluk gembul menggemaskan bernama Nyon dan Irtak sudah menunggu. Di meja tempat mereka duduk, ada asbak yang di penuhi 9 puntung rokok, dua botol bir dan segelas bir (lagi). Kamera baru Nyon juga ikutan nangkring, lensa digitalnya sudah digantikan dengan lensa analog ternyata. Makhluk Gembul 1 (baca: Nyon) menyapa saya dengan gaya sok unyu a la gadis - gadis ol shop, "Heee! Kangen lhoooo". Engh kon, batin saya. "Sorry, gak entuk sing jam setengah 11.", jawab saya. Makhluk gembul 1 mempersilahkan duduk, sementara Makhluk Gembul 2 tersenyum dan menanyakan kabar saya. Sejak saat itu, percakapan berlanjutan. Ada banyak cerita yang sudah saya simpan untuk mereka dan begitu pula mereka. Juga,ada orang - orang lain yang akhirnya ikut bergabung di meja kami, membawa percakapan ke arah lampu kota dan dinginnya udara Malang di malam hari.
.
Esoknya, tanggal 24 Agustus, Nyon sudah bangun terlebih dahulu, sementara saya, masih sibuk gleyotan bareng guling di kasur. Papinya si Nyon pagi - pagi sudah teriak - teriak, menyuruh Nyon untuk segera pergi ke Indosat terdekat dan mengurus kelanjutan hidup kartu SIM adiknya. Sekitar jam setengah 12 siang, kami akhirnya keluar dari rumah, menuju Hot Cwie Mie dan sarapan disana, lalu mengurus kartu SIM (yang menghasilkan nihilisme, karena Nyon lupa bawa paspor dan tidak memiliki KTP, sementara KTP dan paspor adalah hal krusial untuk mengurus nasib kartu SIM). Berhubung nihilisme sudah terpatri di tangannya, saya mengajak Nyon untuk berpetualang kecil di daerah Kayu Tangan. Kami memutuskan untuk naik becak dan menimbang - nimbang tukang becak macam apa yang kira - kira bisa ditawar sampai kebangetan. Dari sekian tukang becak yang sudah lewat, akhirnya saya melihat secercah harapan pada Bapak Tukang Becak Bermuka Redup dan Biasa Diintimidasi. Saya memanggilnya, memberi tahu tujuan kami dan menawar harga. Sudah saya duga, si Bapak Tukang Becak Bermuka Redup dan Biasa Diintimidasi ini dengan baik hati memberi harga murah pada kami. Saya sudah lama tidak naik becak, jadi saya sempat kesenengan juga merasakan angin yang berhembus diantara jeruji kain penutup, sementara Nyon sibuk merekam aktivitas jalanan kota Malang.
Sesampai di daerah Kayu Tangan, saya membayar si Bapak Tukang Becak Bermuka Redup dan Biasa Diintimidasi dengan bonus seribu rupiah (lumayan buat beli rokok inter satu batang, masih dapet permen satu atau dua bungkus juga) dan mengajak Nyon ke toko Buddha di seberang jalan.
Saat kami datang, kami disambut mbak - mbak berkerudung yang tersenyum dengan manis. Saya pikir yang jaga engkoh - engkoh gitu padahal. Toko ini tidak hanya menjual hio, buku doa, lampion, patung atau pun aromaterapi ternyata. Mereka juga menjual liontin - liontin dan gelang berhiaskan foto Avalokitesvara, Buddha, atau pun yin-yang. Nuansa di toko serba berwarna merah, layaknya toko yang kental dengan nuansa China, lantainya tampak jarang disapu dan debu pun menempel di buku - buku doa yang di pajang di rak dekat lampion. Seorang pria pribumi, yang duduk dengan mata terpejam di meja kasir, tiba - tiba terbangun. Mungkin ia mendengar tawa cekikikan kami. Kami sendiri lebih banyak memfoto toko tersebut, timbang memutuskan untuk membeli apa. Pada akhirnya, Nyon membeli amplop merah dan lilin beraroma teh hijau. Sementara saya, membeli buku doa dan kipas cendana dengan lukisan burung walet yang bertengger dengan percikan sinar matahari sebagai backgroundnya.
Kami berjalan lagi, berusaha move on dari kejadian barusan. Tak lama kemudian, kami menemukan pintu besi yang terbuka kecil, disebelah kiri Nyon berdiri di foto ini.
Selepas merasa puas dan sedikit lelah, kami memutuskan untuk meninggalkan sidik jari kami pada tembok - tembok bergambarkan Jenderal Soedirman, yang mungkin 20 tahun lagi akan segera diruntuhkan dan dibangun menjadi pertokoan atau mall baru. Nyon mengajak saya kembali ke Houtenhand. Awalnya kami ingin pergi ke Legipait, tapi letaknya cukup jauh dari Kayutangan. Kami menapaki rute kami tadi, melewati lagi memori yang ditapakkan sol sepatu kami. Kami sempat mengecek kembali keadaan bayi kucing tersebut dan menumpahkan susu lagi ke lantai trotoar, agar jika ia mati, ia bisa mati dengan keadaan kenyang dan berlautkan susu vanilla di antara kekotoran trotoar dan polusi yang dibawanya. Setelah berjalan sekitar satu atau dua kilometer, senyum puas menghiasi wajah kami dan tak sabar menenggak bir yang menunggu dari balik kulkas di Houtenhand.
Nice Story Mbaaa, keep Posting yeeee :)
BalasHapusterimakasih! tentu :).
Hapus